INFRASTRUKTUR & PERPAJAKAN
Infrastruktur
Kondisi infrastruktur yang dianggap paling menghambat oleh pelaku bisnis terdapat di jalan, listrik, pelabuhan, air, dan telekomunikasi. Tidak memadainya infrastuktur disebabkan oleh tiga faktor: kurangnya alokasi anggaran, penggunaan yang tidak optimal atas anggaran yang ada, serta koordinasi yang buruk antara yurisdiksi. Sayangnya, partisipasi swasta juga masih kurang (Kong dan Ramayandi 2008).
Pihak swasta tidak banyak terlibat dalam proyek‐proyek infrastuktur karena sektor perbankan domestik juga enggan mengucurkan kredit ke sektor tersebut, implementasi dari kebijakan infrastruktur tidak efektif, serta banyak proyek infrastruktur harus beroperasi di bawah kondisi non‐pasar: jasa infrastruktur kebanyakan harus dijual pada harga jauh di bawah biaya pengadaannya (Narjoko dan Jotzo 2007).
Pemerintah melakukan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memberi insentif kepada pihak swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur di samping kebijakan lain untuk membantu pendanaan dan untuk memperbaiki manajemen. Misalnya, pada tahun 2006 Menteri Keuangan membentuk Unit Manajemen Risiko untuk mengawasai pelaksanaan mekanisme bagi‐risiko proyek‐proyek kerjasama pemerintah‐swasta. Pemerintah juga memutuskan memberikan dukungan kredit untuk proyek listrik 10,000 megawatt dan untuk proyek tol Trans‐Jawa. Untuk memperbaiki proses pembebasan tanah yang seringkali menjadi masalah dalam proyek infrastruktur, pemerintah juga membentuk Unit Investasi. Pemerintah dan mengalokasikan sekitar Rp 2 triliun tahun 2006, 2007, dan 2008 kepada unit ini untuk membantu percepatan pembangunan infrastruktur. (Dapat dicatat pula di sini, bahwa sebagai respon atas krisis 2008, pemerintah telah melakukan kebijakan stimulasi fiskal. Sebagian dari stimulasi tersebut diarahkan juga untuk perbaikan infrastruktur. Sayang sekali realisasi pengeluaran ternyata menjadi sangat lamban).
Pembangunan infrastruktur tentu saja perlu terus dilanjutkan. Dalam jangka pendek dan menengah, selayaknya fokus diberikan kepada listrik dan air. Untuk jalan dan pelabuhan yang menjadi tulang punggung sistem logistik, pembangunan hard infrastructure (penambahan ruas dan panjang jalan, dsb) sama pentingnya dengan soft infrastructure (misalnya. perbaikan SDM dan pemberantasan pungli di jalan).
Perpajakan
Penerimaan sektor pajak memegang peranan penting terhadap kemampuan pembiayaan pembangunan nasional, oleh karena itu upaya meningkatkan penerimaan pajak secara “business friendly” merupakan program yang perlu diprioritaskan.
1. Permasalahan
- Kepatuhan wajib pajak didalam memenuhi kewajiban perpajakan masih rendah.
- Walaupun telah diadakan reformasi perpajakan, kekuasaan Direktorat Jenderal Pajak masih terlalu besar, karena mencakup fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga menimbulkan ketidak adilan dalam melayani hak wajib pajak.Selanjutnya hal ini juga menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak.
- “Sunset Policy” kurang dimanfaatkan oleh kebanyakan wajib pajak, karena masyarakat wajib pajak masih kurang percaya kepada aparat pajak dan peraturannya terlalu berbelit‐belit.
2. Rekomendasi
- Mengeluarkan Undang‐undang/Keputusan Presiden tentang “Pengampunan Pajak” yang mudah dimengerti oleh masyarakat, agar masyarakat wajib pajak mau mengungkapkan harta/hutang mereka secara benar, dan selanjutnya memenuhi kewajiban paerpajakannya secara benar.
- Menurunkan tarif pajak penghasilan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban mereka.
- Fungsi Direktorat Jenderal Pajak dibatasi pada fungsi eksekutif saja, yaitu memungut pajak dan mengawasi kepatuhan wajib pajak.
- Fungsi legislatif, yaitu mengeluarkan peraturan pelaksanaan undang‐undang perpajakan dan memberikan interpretasi atas peraturan perpajakan dilakukan oleh badan tersendiri dibawah Menteri Keuangan. Dengan demikian peraturan serta interpretasi yang dikeluarkan akan adil dan benar, sebab badan baru ini tidak terbebani kewajiban mengejar target penerimaan seperti yang ada sekarang ini.
- Fungsi yudikatif, yaitu menangani keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dilakukan oleh badan tersendiri dibawah Menteri Keuangan. Dengan demikian penanganan keberatan akan adil dan benar, sebab badan baru ini tidak terbebani kewajiban mengejar target penerimaan seperti yang ada sekarang ini.
Referensi : artikel Kadin Indonesia
0 comments:
Posting Komentar