KERANGKA MAKROEKONOMI

  KERANGKA MAKROEKONOMI

Indonesia adalah salah satu dari empat negara di Asia yang tetap menikmati pertumbuhan positif di tengah  krisis  ekonomi  global.  Keterkaitan  finansial  dan  keterkaitan  perdagangan  yang  sangat rendah  dengan  Amerika  Serikat  dan  negara‐negara  maju  lainnya  membuat  karakteristik perekonomian  kita  tidak  teramat  rentan  terhadap  krisis  global.  Seluruh  sektor  perekonomian praktis lebih mengandalkan pada pasar domestik ketimbang pasar luar negeri. Sektor perbankan masih terus melakukan konsolidasi setelah krisis ekonomi tahun 1998, sehingga menghasilkan  indikator‐indikator  kesehatan  perbankan  yang  tergolong  baik,  bahkan  lebih  baik dibandingkan  dengan  rata‐rata  negara  tetangga.  Perekonomian  Indonesia  juga  diuntungkan  oleh kemerosotan  tajam  perekonomian  negara‐negara  berkembang  lainnya,  sehingga  secara  relatif posisi daya saing kita terdongkrak cukup tajam (Tabel A.2). 



Beberapa  indikator ekonomi  lainnya pun  cukup menggembirakan,  seperti: nisbah utang  terhadap PDB  yang  terus  turun  sehingga masih menyisakan  ruang  gerak  fiskal  untuk melakukan  ekspansi, termasuk pengguliran program stimulus. 

Bertolak  dari  sejumlah  faktor  positif  di  atas,  secara  alamiah  perekonomian  Indonesia  memiliki potensi  untuk  tumbuh  rata‐rata  6,3  persen  selama  kurun waktu  2010‐14.  Dengan modal  politik yang  lebih  baik  dibandingkan  pada  awal  pemerintahan  lima  tahun  lalu  serta  prospek  pemulihan ekonomi dunia yang mulai menunjukkan tanda‐tanda cukup menggembirakan, tampaknya terbuka ruang bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. 

Kadin  Indonesia menyadari  bahwa masih  cukup  banyak  persoalan mendasar  yang menghadang. Namun,  dengan  komitmen  suluruh  pemangku  kepentingan  serta  semangat  optimisme  yang berhembus  pasca  pemilihan  umum  legislatif  dan  pemilihan  presiden,  kita memiliki  harapan  yang terukur bagi pertumbuhan yang lebih tinggi. 

1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 

Kinerja perekonomian yang relatif baik pada tahun 2009 dan besarnya ekspektasi masyarakat pada perbaikan  ekonomi  pasca  pemilihan  umum,  diharapkan  akan  memberi  dampak  positif  pada perekonomian Indonesia di tahun‐tahun mendatang.  Meskipun anggaran pemerintah masih cukup ketat, namun dengan sektor perbankan yang mulai berangsur pulih dalam menyalurkan kredit dan bangkitnya pasar modal secara amat cepat, diharapkan menjadi pendorong utama bagi perbaikan ekonomi  secara  optimal.   Oleh  karena  itu  berdasarkan  kondisi‐kondisi  tersebut,  diperkirakan perekonomian  Indonesia  dalam  periode  tahun  2010–2014  dapat  tumbuh  lebih  tinggi  dari pertumbuhan tahun 2009. 

Dengan  asumsi  tidak  kembali  memburuknya  perekonomian  dunia  dan  relatif  stabilnya  kondisi politik  dalam  negeri,  pada  tahun  2010  perekonomian  Indonesia  diperkirakan  akan  tumbuh  di sekitar 5,4 persen hingga  5,9 persen.   Pertumbuhan  ini diperkirakan akan terus meningkat dalam empat tahun ke depan, seiring dengan membaiknya tingkat investasi dan kredibilitas pemerintah di mata  investor asing dan dunia usaha. Disamping  itu membaiknya perekonomian dunia diharapkan juga akan meningkatkan kembali kinerja ekspor Indonesia.   

Jika  pada  tahun  2009  saja  pertumbuhan  ekonomi  bisa  mencapai  di  atas  4,5  persen,  maka selayaknya pertumbuhan ekonomi  tahun 2010 bisa  jauh  lebih baik.  Pemerintah  seyogyanya bisa bekerja  lebih  keras  lagi  agar pertumbuhan  ekonomi  bisa mendekati  angka  6 persen pada  tahun 2010,  karena  dengan modal  kondisi  politik  yang  semakin membaik  dan  stabilitas  perekonomian yang  terjaga bukan  tidak mungkin bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan  lebih  cepat  lagi guna mengatasi masalah pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Bertolak  dari  kinerja  ekonomi  yang  membaik  tesebut,  maka  pada  tahun‐tahun  mendatang, perekonomian diperkirakan  juga akan mampu tumbuh  lebih tinggi, sehingga dalam periode 2010–2014 rata‐rata pertumbuhan ekonomi akan berada dalam kisaran 6,3 persen sampai 6,9 persen.  

Peningkatan  investasi  fisik yang  terus berlanjut dan pertumbuhan ekspor kembali mengakselerasi sejalan  dengan  pemulihan  ekonmi  dunia,  diperkirakan  akan  tetap  menjadi  motor  penggerak pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan.  Sedangkan dari sisi produksi, peranan sektor  industri manufaktur  dan  sektor  konstruksi diperkirakan  akan  semakin menonjol dan memainkan peranan penting  dalam  perekonomian  Indonesia  pada  lima  tahun  ke  depan,  di  samping  sektor  pertanian yang bisa tumbuh  lebih dua kali  lipat dari pertumbuha penduduk, sektor perdagangan, dan sektor keuangan. 

Sejalan dengan pulihnya perekonomian dunia, kenaikan ekspor barang dan  jasa pada  tahun 2010 diperkirakan  akan  berada  di  sekitar  6,4  persen.  Dan  tahun‐tahun  selanjutnya  diperkirakan  akan mencapai tingkatan yang cukup tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada lima tahun ke depan.  Nilai  ekspor  barang  dan  jasa  diperkirakan  akan  bisa mencapai  kenaikan  rata‐rata  antara 11,3  persen  sampai  12  persen  dalam  periode  2010–2014,  yang  akan  terpenuhi  jika  diikuti  oleh diversifkasi ekspor, baik dari jenis produk maupun negara tujuan.   

Namun hal  ini dapat  tercapai  jika  terjadi perluasan  investasi dan peningkatan kapasitas produksi, terutama  pada  sektor  industri manufaktur.   Pemberdayaan  usaha  kecil menengah  (UKM)  harus menjadi prioritas pemerintah jika ingin peningkatan ekspor yang ditargetkan dapat dicapai.  Tetapi yang lebih penting lagi adalah upaya untuk terus berusaha menciptakan iklim usaha yang kondusif.   

Tingkat ketidakpastian usaha yang masih cukup tinggi merupakan penyebab utama dari rendahnya tingkat  investasi  sampai  saat  ini,  yang  tak  terlepas  dari  tidak  kunjung  kondusifnya  iklim  usaha  di sektor produksi riil.  Dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, tidak banyak yang cukup efektif  menciptakan  iklim  investasi yang kondusif karena seringkali dibayangi oleh keragu‐raguan pemerintah dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan yang dikeluarkan. 

Meskipun  demikian,  Kadin  Indonesia  tetap memperkirakan  pertumbuhan  investasi  dapat  dipacu lebih  cepat mulai  tahun  2010,  sehingga  pada  periode  tahun  2010–2014  rata‐rata  pertumbuhan investasi diperkirakan akan berada dalam kisaran 7,9 persen sampai 9,4 persen (Tabel A.3).  Namun hal  ini  akan  tercapai  jika  pemerintah  berhasil  merancang  sebuah  kebijakan  ekonomi  yang  bisa merangsang minat investasi dan minat berproduksi di setiap daerah.      

Sementara  itu pada periode yang sama  impor barang dan  jasa diperkirakan akan meningkat  rata‐rata antara 12 persen sampai 12,4 persen, sejalan dengan meningkatnya investasi fisik.   Dari sisi produksi,  untuk mencapai pertumbuhan ekonomi  rata‐rata di kisaran 6,3 persen  sampai 6,9  persen  pada  periode  tahun  2010–2014,   diperkirakan  dapat  didukung  terutama  oleh pertumbuhan  di  sektor  industri manufaktur.   Jika  pada  tahun  2009  pertumbuhan  sektor  industri diperkirakan masih di sekitar 2,6 persen, dan tahun 2010 akan berkisar antara 3,1 persen hingga 3,9 persen,  maka pada tahun‐tahun selanjutnya diperkirakan akan meningkat lebih moderat.  Sehingga dalam  periode  tahun  2010–2014  rata‐rata  pertumbuhan  sektor  industri  manufaktur  dapat mencapai antara 4,8 persen hingga 5,4 persen (Tabel A.4 dan Tabel A.5).   Tingkat  pertumbuhan  setinggi  ini  tentunya  tidak  akan  sulit  dicapai,  jika  ada  keinginan  politik (political will) dari pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti pada masa sebelum krisis  tahun  1997/1998.

Namun  untuk  itu  diperlukan  Visi‐Misi  yang  jelas  dari  Departemen Perindustrian  untuk mencapai  target  pertumbuhan  sektor  industri.  Dengan  demikian  akan  lahir strategi‐strategi  jitu,  yang  dipersiapkan  secara  serius  untuk  mencapai  sasaran  pertumbuhan tersebut.     

Oleh karena itu perlu kebijakan sektor industri yang kembali terfokus pada suatu tujuan yang jelas, misalnya hendak dibawa ke mana perkembangan  industri nasional.  Seperti diketahui, pada masa Orde Baru dulu, pembangunan ekonomi pernah berorientasi pada  subtitusi  impor dan  kemudian berlanjut menjadi export oriented.  Tapi  sejak krisis  tahun 1997/98 belum pernah ada  lagi  tujuan yang  jelas  dari  pembangunan  sektor  industri,  kecuali meningkatkan  pertumbuhan  produksi  dan pertumbuhan ekspor yang belum  juga  tercapai  secara optimal.  Kurangnya arahan dan dukungan dari pemerintah menyebabkan pembangunan sektor  industri berjalan tanpa target yang  jelas.  Hal tersebut menyebabkan daya saing  industri semakin merosot, sehingga kehilangan kekuatan ketika mengarungi gelombang globalisasi. 

Seiring  dengan  akan  pulihnya  perekonomian  global,  sektor  perdagangan  diperkirakan  juga  dapat tumbuh secara berarti sejak  tahun 2010.  Jika pada  tahun 2009 pertumbuhan  sektor perdagangan diperkirakan  sekitar  2,4  persen,  maka  pada  tahun  2010  sektor  ini  diperkiralkan  dapat  tumbuh antara  4,6  persen  sampai  5,7  persen.   Angka  pertumbuhan  ini  diperkirakan  akan  semakin  cepat pada  tahun‐tahun  berikutnya,  sehingga  dalam  periode  tahun  2010–2014  rata‐rata  pertumbuhan sektor  perdagangan  diperkirakan  berkisar  antara  6,1  persen  sampai  6,9  persen.   Selain  akan dipengaruhi  oleh  membaiknya  perekonomian  global,  pertumbuhan  ini  diperkirakan  juga  searah dengan pertumbuhan sektor industri manufaktur. 

Sementara itu pertumbuhan sektor transport dan komunikasi diperkirakan akan terus melaju dalam periode  tahun  2010–2014,  sehingga  sektor  ini  tetap  merupakan  sektor  dengan  pertumbuhan tertinggi.  Pada periode tersebut sektor ini akan tumbuh rata‐rata di sekitar 15,4 persen hingga 16,6 persen. Di  antara  semua  sektor  di  dalam  Produk Domesik  Bruto,  pertambangan merupakan  sektor  yang tumbuh paling  rendah,  terutama  sejak  tahun 2001.  Terus melambatnya peningkatan produksi di sektor pertambangan, terutama disebabkan oleh trend penurunan produksi minyak dan gas bumi.  Penurunan  laju  produksi  sekor  pertambangan  ini  memberi  andil  yang  cukup  besar  dalam pelemahan  pertumbuhan  ekonomi  secara  keseluruhan,  karena  peranan  sektor  pertambangan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) masih sebesar 11 persen, yang lebih tinggi dari peranan sektor keuangan  dan  sektor  transport  &  komunikasi  yang  masing‐masing  sebesar  7,4  persen  dan  6,3 persen.  
             
Sesuai dengan kondisi yang berlangsung dewasa  ini, dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi Kadin, sektor pertambangan diperkirakan tumbuh relatif rendah, yaitu rata‐rata hanya berkisar antara 0,6 persen hingga 2,2 persen dalam periode tahun 2010‐2014.   Berkaitan  dengan  kondisi  sektor  pertambangan  tersebut,  disarankan  peranan  pemerintah  untuk meningkatkan  kembali  produksi  minyak  dan  gas.   Meskipun  eksploitasi  dan  eksplorasi  minyak membutuhkan  investasi  besar,  namun  kegiatan  ini  akan  menyerap  banyak  tenaga  kerja  pada kegiatan‐kegiatan  di  hilir  dan  yang  berkait  dengan  kegiatan  di  sektor  ini.   Jika  dukungan  dana pemerintah  tidak memungkinkan kegiatan  tersebut, maka yang diperlukan adalah perbaikan  iklim investasi dan pembaharuan sistem  insentif di sektor pertambangan.  Adanya konsistensi kebijakan dan  kepastian  penegakan  hukum  merupakan  dua  hal  penting  yang  harus  segera  mendapat 
perhatian serius, agar kegiatan produksi di sektor pertambangan kembali meningkatkan minat para 
investor.    

Sektor pertanian diproyeksikan dapat  tetap  tumbuh secara moderat, meskipun diperkirakan  tidak lagi setinggi tahun 2008 yang mencapai 4,8 persen.  Belum berhasilnya revitalisasi sektor pertanian secara  keseluruhan,  dan  adanya  ketidakpastian  cuaca,  merupakan  dua  hal  pokok  yang memengaruhi angka‐angka proyeksi di sektor ini.  Dalam periode tahun 2010‐2014 sektor pertanian diperkirakan hanya dapat tumbuh rata‐rata di sekitar 3,4 persen hingga 3,9 persen. 



2.   Pembiayaan Pembangunan 

Sesuai  dengan  proyeksi  pertumbuhan  ekonomi  di  muka,  yang  memperkirakan  rata‐rata pertumbuhan ekonomi akan berada dalam kisaran 6,3 persen sampai  6,9 persen, maka kebutuhan dana investasi pada periode 2010–2014 akan mencapai Rp 2.855 triliun hingga Rp 2.910 triliun rata‐rata setahun (Tabel A.6 dan Tabel A.7). Karena dana yang dapat disediakan oleh pemerintah melalui APBN diperkirakan hanya akan mencapai rata‐rata sekitar 13 persen saja, maka sisanya sekitar 87 persenrata harus dihimpun dari swasta domestik  (bank, nonbank, dan pasar modal), serta swasta luar negeri dalam bentuk pinjaman dan investasi langsung. 

Kebutuhan  dana  yang  cukup  besar  tersebut  jelas  perlu  ditopang  oleh  kapasitas  pendanaan  yang memadai di dalam negeri.  Namun  sayangnya  sumbangan  sektor  keuangan domestik  (perbankandan  pasar modal)  sampai  saat  ini masih  sangat  rendah,  dan  relatif  jauh  tertinggal  dibandingkan dengan  negara‐negara  tetangga.   Hal  yang  sama  juga  terjadi  untuk  penanaman  modal  asing langsung  (foreign direct  investment/FDI). Bahkan nisbah FDI  terhadap PDB di  Indonesia  tergolong yang terendah di dunia. 

Sungguh pun demikian, sejauh ini sektor perbankan Indonesia telah tumbuh cukup mantap.  Dalam periode 2004–2008 aset dan kredit perbankan masing‐masing meningkat sebesar 15,6 persen dan  23,8 persen.  Pada akhir tahun 2008 aset perbankan telah meningkat menjadi Rp 2.311 triliun dan kredit perbankan menjadi Rp 1.308 triliun. Sementara itu non‐performing loans (NPL) turun menjadi 3,2 persen dari 5,8 persen. Tidak adanya exposure  langsung  terhadap kredit perumahan subprime membuat kondisi perbankan  Indonesia  relatif  lebih baik dibandingkan dengan negara‐negara   lain ketika menghadapi krisis global akhir‐akhir ini.   
Namun,  sumber  pendanaan  perbankan  umumnya  bersifat  jangka  pendek,  sementara  kebutuhan dana jangka panjang diperoleh dari pasar modal. Kapitalisasi pasar saham dan obligasi di Indonesia terhadap  PDB  sudah mencapai  50  persen  di  tahun  2004,  namun menurun menjadi  34  persen  di tahun 2008. Krisis keuangan global berimbas  cukup  signifikan ke pasar modal  Indonesia  sehingga membuat  kapitalisasi pasar menurun  cukup  tajam  di  akhir  tahun  2008. Namun demikian  di  awal tahun  2009  terlihat  kecenderungan  yang  mulai  membaik  sebagaimana  tercerminkan  dari penurunan imbal hasil obligasi pemerintah dari 21 persen pada November 2008 menjadi 12 persen pada April 2009 atau terjadi kenaikan harga obligasi pemerintah secara rata‐rata sebesar 40 persen. Indeks Harga Saham juga mengalami peningkatan dari 1.141 pada November 2008 menjadi 2.0267  pada Juni 2009. Hasilnya, kapitalisasi pasar meningkat kembali menjadi hampir 50 persen dari PDB pada Juni 2009.  

Di  tengah  keterbatasan  sumber dana domestik, pemanfaatan dana  yang  ada  juga belum optimal dan fungsi intermediasi sektor keuangan ke sektor riil pun masih terkendala.  Hal ini tercermin dari cukup  besarnya  transaksi  perbankan  dengan  instrumen  pemerintah/Bank  Indonesia,  baik  dalam bentuk  obligasi  pemerintah  maupun  SBI.   Separuh  dari  obligasi  pemerintah  dipegang  oleh perbankan,  sementara  jumlah  dana  perbankan  yang  dialokasikan  ke  SBI  terus  mengalami peningkatan secara signifikan hingga mencapai Rp 225 triliun (97 persen dari total SBI) pada bulan Juni  2009,  dari  Rp  96,5  triliun  (55  persen  dari  total  SBI)  pada  bulan  Juli  2008.   Kondisi  ini  pada akhirnya membatasi  kemampuan perbankan dalam menyalurkan  kredit  ke  sektor  riil. Belakangan ini, yang juga menjadi masalah adalah penyebaran likuiditas perbankan yang timpang. 

Oleh karena itu untuk jangka satu‐dua tahun ke depan, perlu dilakukan langkah‐langkah berikut: 
  • Jika  kondisi  likuiditas  bank‐bank  kecil  tidak  membaik,  maka  perlu  ada  program  penjaminan pinjaman  antarbank  agar  likuiditas  lebih merata  dan  sekaligus  bisa menurunkan  suku  bunga pinjaman. Untuk menghindari moral hazard maka bank yang menerima penjaminan diharuskan menaruh sebagian dana kas di pemerintah. 
  • Mengurangi  persaingan  dalam  pencarian  dana  antara  pemerintah  dan  swasta  untuk meminimalisasikan efek pendesakan (crowding‐out effect). 
  • Memberikan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit  kepada sektor UKM dan infrastruktur. 
  • Agar  kebutuhan  dana  pemerintah  dari  publik  tidak  terus menggelembung,  pemerintah  perlu lebih  tekun  melakukan  ekstensifikasi  dan  intensifikasi  penerimaan  pajak,  dengan mengutamakan peningkatan kepatuhan membayar pajak. Hanya dengan peningkatan tax ratio, pemerintah bisa mengurangi penetrasinya dalam penghimpunan dana publik. Sementara itu untuk jangka menengah, perlu dipersiapkan langkah‐langkah berikut: 
  • Menyempurnakan  arsitektur  perbankan  Indonesia  agar  peranan  perbankan  sejalan  dengan upaya penguatan sektor riil. 
  • Mendinamiskan  peranan  lembaga‐lembaga  keuangan  nonbank  dan  optimalisasi  pasar modal yang transparan dan kredibel. 
  • Optimalisasi dana haji. 
  • Monetisasi aset‐aset negara. 

Akibat  keterbatasan  sumber  dana  domestik,  maka  untuk  beberapa  tahun  ke  depan  kebutuhan pinjaman  dan  investasi  dari  luar  negeri  tidak  bisa  dihindari.   Namun  juga  harus  disadari  bahwa dalam  beberapa  tahun  terakhir  ini  investasi  asing  yang  masuk  ke  Indonesia  belum  mampu menggerakkan  sektor  riil.   Hal  ini  disebabkan  antara  lain  karena  dana  asing  yang  masuk  ke Indonesia  sebagian  besar  dalam  bentuk  investasi  portofolio,  seperti  obligasi  pemerintah  dan saham.   Sementara  itu  investasi  asing  langsung  (foreign  direct  investment)  seringkali  terhambat oleh birokrasi yang berbelit‐belit dan juga akibat pertentangan antara pusat dan daerah.  



Referensi : Artikel |Kadin Indonesia

0 comments:

Posting Komentar