PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BERORIENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BERORIENTASI PEMBANGUNAN 
BERKELANJUTAN 

Pengembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  merupakan  faktor  yang  sangat  penting  dalam menopang kemajuan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan. Dengan begitu inovasi akan tumbuh sehingga meningkatkan produktivitas perekonomian. Ada enam  jenis  input yang menjadi  faktor pemungkin  (enablers) untuk memajukan  inovasi, yakni: 

  1. besarnya  pengeluaran  untuk  riset  dan  pengembangan  (R&D)  sebagai  persentase  dari  produk domestik  bruto  (PDB); 
  2. kualitas  infrastruktur  riset  lokal;  
  3. tingkat  pendidikan  pekerja; 
  4. ketrampilan  teknik  pekerja; 
  5. kualitas  teknologi  informasi  dan  infrastuktur  komunkasi;  dan  
  6. penetrasi broadband (EIU, 2009


Peraga  1  hingga  3  menunjukkan  betapa  lemah  posisi  kita  dalam  hal  kegiatan  riset  dan pengembangan serta kemampuan inovasi. Dalam hal kemampuan inovasi, kita berada pada urutan ke‐74 dari  82 negara. Posisi  ini hanya  lebih baik dari negara‐negara  “lapisan bawah”,  yaitu:  Iran, Aljazair, Pakistan, Vietnam, Nigeria, Bangladesh, Angola, dan Libya. Kita jauh tetinggal dibandingkan negara‐negara seperti Singapura, Korea, dan Taiwan, dan Malaysia. 

Selain  sangat minim,  alokasi  dana  untuk  riset  dan  pengembangan  sangat  didominasi  oleh  sektor publik  (pemerintah).  Padahal,  salah  satu  kunci  keberhasilan  dari  inovasi  adalah  jika  dunia  usaha berada  para  barisan  terdepan.  Peran  pemerintah  sepatutnya  lebih  ditekankan  pada  penyusunan strategi nasional dan pengembangan mekanisme insentif. 

Kebijakan  fiskal merupakan  salah  satu  unsur  yang menopang  lingkungan  inovasi  yang  kondusif. Faktor  lainnya  adalah:  lingkungan  politik,  peluang  pasar,  kebijakan  tentang  kebebasan  berusaha dan persaingan, kebijakan penanaman modal asing  dan pengawasan perdagangan serta  lalulintas devisa.
  
Pengembangan  usaha  berbasis  teknologi  yang  mendukung  peningkatan  produktivitas membutuhkan fleksbilitas dalam perekonomian yang memungkinkan munculnya usaha manufaktur baru dan peningkatan probabilitas merger dan  akuisisi  yang berbasis  restrukturisasi  yang  efisien. Schumpeter  mengatakan  probabilitas  terjadinya  creative  destruction  haruslah  tinggi  dalam perekonomian. 

Proses  produksi  usang  yang  tidak  efisien  harus  secara  endogen  dihancurkan  oleh  sistem perekonomian  itu  sendiri. Masalahnya  adalah  bagaimana  perekonomian  menciptakan  teknologi baru  yang  memungkinkan  proses  creative  destruction  tidak  berakhir  dengan  penurunan produktivitas  sektor  manufaktur  itu  sendiri.  Untuk  itu  diperlukan  dukungan  fleksibilitas  sisi penawaran dan fleksibilitas sisi permintaan dari teknologi atau inovasi tersebut.  Sisi penawaran  teknologi  umumnya bercirikan  barang publik, misalnya: pendidikan,  laboratorium publik,  penelitian  dan  pengembangan  (R&D)  publik,  fasilitas  infrastruktur  dan  kesehatan  yang berorientasi  peningkatan  kapasitas  teknologi.  Untuk  itu  peran  pemerintah  di  bidang‐bidang tersebut  tak  dapat  diabaikan  sehingga  alokasi  kebijakan  fiskal  untuk  bidang  tersebut  seharusnya memiliki prioritas utama.  

Selain  itu,  permasalahan  pokok  yang muncul  adalah  tidak  siapnya  sisi  permintaan  dari  teknologi baru  tersebut  karena  kegiatan  usaha  di  bidang  baru  tersebut memiliki  social  return  yang  tinggi tetapi dengan private  return yang  rendah.  Permasalahan yang  sering muncul adalah adanya dua tipe strategi pengembangan teknologi baru yaitu yang bersifat top down dan yang bersifat bottom up.  Yang  bersifat  top  down  umumnya  dilakukan  oleh  perusahaan modal  asing  (PMA)  dan  yang berifat bottom up dilakukan oleh perusahaan lokal misalnya dalam kasus Jepang, Korea dan China.  

Untuk  itu  program  pengembangan  sisi  penawaran  teknologi  publik maka  pemerintah  Indonesia harus menempatkan  Badan  Pengkajian  dan  Penerapan  Teknologi  (BPPT)  sebagai  badan  strategis yang berorientasi pada strategi pengembangan teknologi yang bersifat bottom up khususnya dalam sektor manufaktur. Strategi top down dari pengembangan teknologi merupakan  lahan dari foreign direct  investment karena  itu perekonomian  Indonesia  juga harus bersifat  terbuka dan  ramah bagi berkembangnya  FDI  di  tanah  air. 

Dalam  sektor‐sektor manufaktur  yang memiliki  komponen  FDI cukup  besar maka  peran  BPPT  bukannya  tidak  ada  tetapi  lebih  sebagai  pendamping  dan  bukan sebagai  pemain  utama. Dalam  kasus  yang  terakhir  ini BPPT  harus mampu  berimproviasasi  untuk memiliki hubungan yang baik dengan FDI sektor manufaktur tersebut agar dapat melihat teknologi yang  mereka  terapkan  dalam  rangka  melakukan  aplikasi  yang  lebih  tepat  bagi  kondisi perekonomian lokal.  

Berikut adalah langkah‐langkah lainnya yang seyogyanya diperhatikan dalam proses pengembangan 
teknologi baru disektor manufaktur yaitu: 

  1. Pemerintah  harus  berani  memberikan  subsidi  ataupun  pembebasan  pajak  bagi  biaya pengembangan  teknologi  baru  di  sektor manufaktur.  Perlu  dicatat  bahwa  pemerintah  tidak perlu  melakukan  seluruh  investasi  tetapi  invetasi  tetap  dilakukan  oleh  sektor  swasta. Kriterianya  adalah  aktivitas  ini  harus  merupakan  aktivitas  baru  (teknologi  baru),  memiliki potensi spill over bagi aktivitas perekonomian lainnya dan adanya sektor swasta yang bersedia diawasi dan dilakukan audit kinerjanya. Langkah ini diperlukan karena adanya ketidakpastikan akibat penerapan teknologi baru yang memerlukan  investasi yang tidak sedikit dan hambatan dari  kondisi  local.   Taiwan  dan  China  misalnya  memberikan  kemudahan  perpajakan  bagi sektor‐sektor  industri  manufaktur  yang   dipromosikan  sebagai  lokomotif  pengembangan teknologi  berbasis  penciptaan  nilai  tambah.   Begitu  keunggulan  teknologi  terbentuk  maka perlindungan  bagi  keunggulan  teknologi  tersebut  juga  harus  terus  dilakukan.  Dalam  hal industri chips, Taiwan membolehkan industrinya menanamkan investasinya di China sepanjang teknologi yang digunakan adalah teknologi tua. 
  2. Mengembangkan  mekanisme  publik  bagi  pembiayaan  yang  beresiko  tinggi,  misalnya pemerintah Singapore membentuk bank pembangunan, dan  lembaga pendanaan khusus bagi pengembangan  teknologi  serta  dana  khsus  bagi  pengembangan  sektor  manufaktur.  Hal  ini diperlukan  karena  dapat  dipastikan  bahwa mekanisme  privat  tidak  akan mampu membiayai program  ini  seperti bank komersial dan pasar modal. Karena  itu pemerintah  Indonesia harus mampu  mengembangkan  bank  pembangunan  bagi  sektor   manufaktur,  dana  ventura  yang dibiayai publik, garansi publik bagi pinjaman bank komersial  jangka panjang atau  instrument lain  yang  mampu  memakai  dana  pensiun  publik  bagi  aktivitas  pembiayaan  sektor‐sektor manufaktur yang menerapkan teknologi baru. 
  3. Tugas  yang  jelas  bagi  public  R&D   dengan  strategi  pengembangan  teknologi  yang  bersifat bottom up. BPPT harus mampu bekerjasama dengan  sektor  swasta dalam mengindentifikasi, mengadaptasi dan melakukan alih  teknologi dari  luar negeri. Taiwan  telah melakukan hal  ini dalam  pengembangan  industri  teknologi  informasinya.   Selain  itu  tugas BPPT  lainnya  adalah melakukan penyebaran teknologi secara sistematis. Strategi bottom up sebagai strategi utama agar  alih  teknologi  internasional  tidak  seluruhnya  terkendala  oleh  perjanjian  TRIPS  (Trade Related  Intelectual Property Rights) yang merupakan mekanisme untuk meningkatkan market power dari technology developers yang memungkinkan mereka bertindak monopolistik. Selain strategi top down sudah dilakukan oleh FDI. 
  4. Melakukan  subsidi bagi pelatihan  teknis yang bersifat umum. Namun hal  ini harus dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan sektor swasta agar  terjadi koneksi yang  tepat sehingga swasta dapat  ikut melakukan pembiayaan parsial dalam program pelatihan vocational,  teknis dan bahasa inggris ini. 
  5. Mengajak orang  Indonesia kembali ke  Indonesia. Mengingat  kaum ekspatriat  Indonesia  yang memiliki  keahlian  teknologi  manufaktur  masih  banyak  berada  di  luar  negeri  dibandingkan dengan yang memiliki keahlian ekonomi dan bisnis, mereka harus dapat direktrut kembali ke tanah air. Hal ini pernah dilakukan oleh Taiwan dalam upayanya mendukung industri computer mereka. Insentif perpajakan umumnya dapat dilakukan seperti yang dilakukan oleh Taiwan.  
  6. Melakukan  kerjasama  dengan  lembaga  penelitian  swasta  di  luar  dan  dalam  negeri  yang terbukti  sukses  melakukan  alih  teknologi.  Tugas  pemerintah  adalah  memfasilitasi  sektor manufaktur  dengan  lembaga‐lembaga  ini.  Akan  lebih  efektif  jika  pemerintah  memberikan fasilitas fiscal bagi mereka untuk melakukan investasi di Indonesia.  
  7. Mengembangkan  kawasan  ekonomi  khusus  industri  manufaktur  berbasis  teknologi.  Pada kawasan  inilah  BPPT  harus  dapat  memiliki  kerjasama  dengan  FDI  yang  memiliki  program teknologi berbasis  top down. Begitu pula dengan  lembaga pendidikan berorientasi  teknologi manufaktur  harus mampu melakukan  kerja  sama  dengan  FDI  pada  kawasan  ini.  Untuk  itu, koordinasi dan pembiayaan kawasan  ini sebaikan dilakukan oleh pihak swasta agar kebijakan yang diterapkan tidak bias pada kepentingan non bisnis. Peraturan perburuhan pada kawasan ini haruslah dibuat  lebih  fleksibel dimana outsourcing  sebaiknya  juga diperbolehkan. Dengan demikian kawasan ekonomi khusus membawa Misi sebagai sarana alih teknologi. 
  8. Melakukan  survei  capital  stock  nasional  khususnya  sektor  manufaktur  dan  membakukan pengukuran  produktivitas  dengan metode  Total  faktor  productivity  (TFP).  Survei  stok modal (capital  stock)  nasional  perlu  dilakukan  agar  pengukuran  keberhasilan  pembangunan  dari kemajuan teknologi, kontribusi tenaga kerja, energi, material  dan permodalan dapat dihitung secara  lebih  cermat.  Dengan  demikan  setiap  sektor  dalam  industri  manufaktur  dapat diperbandingkan  kemajuan  teknologi diantara mereka dan  juga  dibandingkan dengan  sektor manufaktur di negara lain. Acuan ini akan sangat menentukan pada sektor mana saja program kebijakan  industri  termasuk  program  pengembangan  teknologi  perlu mendapatkan  prioritas utama. 
  9. Lembaga kepresidenan sebagai lembaga koordinasi dari faktor  eksternal atau dibentuk badan seperti BKKBN namun dengan presiden sebagai otoritas tertinggi. Kesemua faktor di atas harus dibawah  koordinasi  badan  ini  selain  itu  badan  ini  juga  bertanggungjawab  menciptakan harmonisasi  dengan  pihak‐pihak  seperti  Kadin,  asosiasi  petani,  perjanjian  perdagangan internasional  dan  asosiasi  perburuhan.   Tugas  lain  lembaga  ini  adalah  membuat  Undang‐undang  Promosi  Alih  Teknologi  dengan  tujuan  untuk  mewajibkan  universitas  dan  lembaga penelitian  publik  memiliki  Kantor  Alih  Teknologi,  undang‐undang  promosi  inovasi  dengan tujuan  memberikan  insentif  bagi  aktivitas  penelitian,  dan  undang‐undang  promosi pengembangan teknologi dengan tujuan memberikan insentif bagi pengambangan teknologi.   
  10. Lebih meningkatkan alokasi pengeluaran untuk riset dan pengembangan bagi dunia usaha.  
  11. Untuk mendorong pengembangan teknologi yang berorientasi pembangunan melalui langkah‐langkah  tersebut  di  atas  diperlukan  adanya  tokoh  yang  berprestasi  tinggi  dalam  ilmu pengetahuan  dan  teknologi,  terkenal  baik  di  dalam  maupun  di  luar  negeri,  dan  dapat memberikan  harapan  dan  cita‐cita  kepada  generasi  muda  bangsa  ini,  sebagai  pembantu Presiden dalam pemerintahan yang mendatang. 
referensi : Artikel Kadin Indonesia

0 comments:

Posting Komentar