Membumikan Strategi Pembangunan Berkelanjutan

Membumikan Strategi Pembangunan Berkelanjutan 

1. Rasional 

Pada  era  perubahan  iklim  dan  dinamika  ekonomi  global  yang  demikian  cepat,  salah  satu  opsi wajib  sebagai  perajut  pembangunan  ekonomi  Indonesia  adalah  upaya  konkrit  untuk membumikan strategi pembangunan berkelanjutan.  Masyarakat bisnis sebenarnya  telah sangat yakin bahwa penggunaan dan eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan melebihi daya dukung sumberdaya  tersebut  akan  mengakibatkan  degradasi  sumberdaya  dan  lingkungan  hidup  yang tentu mengancam keberlanjutan pembangunan ekonomi itu sendiri.  

Diskusi publik yang pernah mengemuka pada  tiga dekade sebelumnya, kini seakan memperolehmomentum besar untuk  segera mewujudkan, mengoperasionalisasikan dan membumikannya di dalam praktik bisnis dan  aktivitas ekonomi  lainnya,  setelah  ancaman dampak buruk perubahan iklim  telah  semakin nyata dan merata pada  segenap  lapisan masyarakat. Kesadaran  kolektif  itu kini  seharusnya  telah  merasuk  pada  segenap  pelaku  usaha,  perumus  kebijakan  dan  pejuang masyarakat  madani,  bahwa  biaya  dan  risiko  ekonomi,  sosial,  dan  lingkungan  hidup  tentang dampak  perubahan  iklim  akan  jauh  lebih  besar  dan  lebih  dahsyat  dibandingkan  dengan  biaya yang  harus  dikeluarkan  saat  ini  untuk  mengantisipasi,  adaptasi  dan  mitigasi  perubahan  iklim global tersebut.  


Strategi  pembangunan  berkelanjutan  pada  awal  dekade  1970‐an  memang  dianggap  sebagai sebuah  terobosan  baru,  tapi  kini  pada  dekade  di  awal  abad milienium,  strategi  tersebut  telah menjadi suatu keniscayaan dan kebutuhan krusial dalam pembangunan ekonomi saat ini. Sesuatu yang sangat mendesak untuk dilaksanakan adalah mentransformasikan debat publik dan gagasan di  tingkat konsep menjadi suatu  langkah operasional oleh berbagai elemen bangsa atau pelaku, seperti:  masyarakat  politik  (pemerintah,  wakil  rakyat),  masyarakat  bisnis  (dunia  usaha  besar, menengah  dan  kecil),  dan masyarakat madani  (lembaga masyarakat,  dunia  akademik  dan  lain‐lain).   Falsafah  yang  dianutnya  pun  tidak  boleh  terlalu  rumit  karena  konsep  pembangunan berkelanjutan itu sendiri sebenarnya cukup sederhana dan sangat mudah dicerna.   

Bermula  dari  kenyataan  bahwa  tingkat  pertumbuhan  ekonomi  itu  ada  batasnya  dan  bahwa perekonomian  yang  terlalu  mengandalkan  pada  hasil  ekstraksi  sumberdaya  alam,  tidak  akan bertahan  lama.  Pertumbuhan  ekonomi  yang  tinggi  tidak  akan  berarti  apa‐apa  jika  degradasi lingkungan  yang ditimbulkannya  ikut diperhitungkan dalam penghitungan pendapatan nasional.  Lalu para ahli mulai memadukan  antara aspek ekologis dan aspek ekonomis dalam perumusan kebijakan  nasional.   Pada  tingkat  aplikasi  dan  pelaksanaan,   pemerintah  bersama‐sama  rakyat banyak  juga  ikut  bertanggung  jawab,  tidak  saja  terhadap  degradasi  lingkungan  tetapi  juga terhadap kebijakan publik yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup itu. 

2. Evolusi dan Penyempurnaan Strategi 

Pada  tingkat  global, mereka  yang  peduli  terhadap  keberlanjutan  pembangunan  dapat  tercapai pada pembentukan koMisi dunia tentang  lingkungan hidup dan pembangunan (World Comission on Environment and Development = WCED) yang  independen dan  sangat berpengaruh. Mereka telah berhasil "mengawinkan" antara ekonomi dan ekologi, seperti tertuang dalam dokumen Our Common  Future  dan  secara  eksplisit  menyebutkan  strategi  pembangunan  berkelanjutan. Menurut koMisi  itu, pembangunan berkelanjutan adalah  "pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan  generasi  sekarang  tanpa  harus  mengorbankan  kemampuan  generasi  mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri".  

Paradigma  pembangunan  berkelanjutan  tidak  hanya memperoleh  tantangan  di  tingkat  konsep, strategi  dan  mazhab  pemikiran,  tapi  juga  menghadapi  kendala  serius  dalam   mobilisasi  dan operasionalisasi sumber pendanaan di tingkat lapangan.  Kendala mobilisási dana ini terasa lebih sulit ketika para ahli dan perumus kebijakan menghadapi kesulitan untuk menterjemahkan secara lebih  lugas  dan  jelas  tentang  paradigma  baru  pembangunan  berkelanjutan  yang  telah mengakomodasi  secara  inheren  perspektif  sosial,  untuk  melengkapi  perspektif  atau  aspek ekonomi  dan  lingkungan  hidup.  Pasca  Konferensi  Tingkat  Tinggi  (KTT)  Lingkungan  Hidup  di Johannesburg  Afrika  Selatan  tahun  2002  (atau  “Rio  +10”,  untuk menunjukkan  penyempurnaan dari  KTT  Bumi  di  Rio  de  Janeiro,  Brazil  tahun  1992),  aspek  sosial  seperti  faktor  kemiskinan, kelembagaan, inklusivitas, konsultasi, pemberdayaan masyarakat sipil, dan lain‐lain telah diyakini mampu menjadi salah satu dimensi penting dalam pembangunan berkelanjutan. 

Penyempurnaan  ini  telah  melengkapi  sekian  macam  dimensi  dari  aspek  ekonomi  seperti pertumbuhan, efisiensi dan  stabilitas dan dari  aspek  lingkungan hidup  seperti  keanekaragaman hayati, ketangguhan atau kemampuan penyesuaian diri, sumberdaya alam,  tingkat polusi, eMisi karbón dan  lain‐lain.  Dalam keterkaitan antara aspek  sosial dan aspek ekonomi, perhatian dari paradigma pembangunan berkelanjutan adalah tingkat pemerataan dalam suatu generasi (intra‐generational  equity),  kebutuhan  dasar  dan  tingkat  penyerapan  angkatan  kerja  dalam perekonomian.   Keterkaitan  antara  aspek  sosial  dan  aspek  lingkungan  hidup  telah  lama dikembangkan,  yaitu  yang  mencakup  pemerataan  antar  generasi  (inter‐generational  equity), governance, transparansi dan akuntabilitas publik, serta dimensi budaya di dalamnya.  Sedangkan keterkaitan  antara  apsek  ekonomi  dan  lingkungan  hidup  telah  mendapat  perhatian  cukup 
memadai di tingkat konsep yang menyangkut proses penilaian (valuation) dan  internasilisasi dari faktor eksternalitas yang mungkin timbul dalam aktivitas perekonomian (lihat Gambar di bawah). 



3. Upaya Kuantifikasi Keberlanjutan 

Di  tingkat  yang  lebih  operasional,  kebijakan  pelestarian  lingkungan  hidup  juga  menghadapi tantangan,  paling  tidak  dalam  melakukan  kuantifikasi  degradasi  sumber  daya  alam  dan lingkungan  hidup.   Hal  ini  pun  juga  berhubungan  dengan  minimnya  data  dan  informasi pendukung  untuk  mendepresiasi  pertumbuhan  ekonomi  dengan  ekstraksi  sumber  daya  alam, atau keragu‐raguan beberapa negara untuk segera merombak sistem penghitungan pendapatan nasionalnya, disamping masalah biaya. World Resources Institute pernah secara kasar melakukan perhitungan  NDP  Indonesia  dengan  cara  mendepresiasikan  Produk  Domestik  Bruto  (Gross Domestic Product = GDP) terhadap penipisan cadangan sumber minyak bumi, sumber daya hutan, dan  erosi  tanah.  Walaupun masih  terbilang  kasar,  dengan metode  yang  sederhana  dan  hanya memperhitungkan depresiasi di ketiga sektor ekonomi di atas,  lembaga sumberdaya dunia yang makin  populer  tersebut  menyimpulkan  bahwa  laju  pertumbuhan  ekonomi  Indonesia  rata‐rata 
bukan  sekitar  8  persen  per  tahun  seperti  sering  diberitakan,  tetapi  hanya  sekitar  4  persen  per tahun. 

Sebenarnya  telah  cukup  banyak  upaya  estimasi  pendapatan  bersih  sektor  pertanian  tanaman pangan  yang  telah didepresiasi  karena degradasi  lahan dengan menyempurnakan metode  yang dikembangkan World Resources Institute dan memperbesar cakupannya disesuaikan dengan data satelit  terakhir  yang  dapat  dikumpulkan.  Hasilnya  menunjukkan  bahwa  sekitar  5  persen pendapatan  sektor pertanian  telah berkurang hanya  karena degradasi  lahan  saja  (Arifin, 2001).  Maksudnya, apabila beberapa ukuran tentang depresiasi cadangan dan kualitas sumberdaya alam mencakup  lebih  banyak  lagi  jenis  sumberdaya  alam  dan  praktik  pemnafaatan  yang  tidak berkelanjutan, maka produk domestik bruto (PDB) ekonomi  Indonesia pastilah  lebih rendah dari ukuran  penghitungan  konvensional  pembangunan  ekonomi  seperti  selama  ini.  ndapatan konvensional.  

Ukuran  yang  sedikit  lebih  rumit  dikenal  dengan  nama  Produktivitas  Bruto  yang Bekelanjutan  (Gross  Sustainable  Productivity  =  GSP)  yang  memperhitungkan  beberapa  indeks sosial dan  tingkat kemakmuran  lain, seperti diterapkan di negara‐negara Skandinavia dan Eropa Barat. 

Sebenarnya,  perkembangan  konsep  pembangunan  berkelanjutan  akhir‐akhir  ini  telah  meliputi cakupan yang  lebih  luas,  tidak hanya pada  lingkup sumberdaya alam dan  lingkungan hidup saja, tetapi  juga  pada  suatu  sistem  sosial  dan  politik  sebagaimana  diuraikan  sebelumnya.   Hal  ini sejalan  dengan  perluasan  dimensi  pembangunan  itu  sendiri  yang  jelas  tidak  hanya mencakup persoalan‐persoalan ekonomi semata,  tetapi meliputi keterbukaan sistem demokrasi dan politik yang  dianut  suatu  sistem  pemerintahan.   Beberapa  argumen  terakhir  sering mengambil  ibarat dari  keruntuhan  sistem  komunisme  di  Uni  Soviet  dan  Eropa  Timur  lainnya  tentang ketidakberlanjutan suatu pembangunan.  Sikap apatimesme sebagian besar masyarakat terhadap program‐program  pembangunan  yang  dicanangkan  pemerintah  dapat  dijadikan  sebagai  bukti makin minipisnya sumber daya sosial‐politik seperti antusiasme, partisipasi masyarakt,  legitimasi dan kepercayaan  masyarakat kepada pemerintah dan lain‐lain. 

Falsafah dasar yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa kebijakan ekonomi makro yang prudent (hati‐hati)  sekalipun,  jika  pola  pembangunan masih  cenderung  ekstraktif  terhadap  sumberdaya alam, surplus neraca perdagangan hanya akan habis untuk memperbaiki mutu  lingkungan hidup yang  terlanjur  porak‐poranda.  Kebijakan  transformasi  ekonomi menuju  sistem  yang  lebih  baik perlu disertai  restrukturisasi  industri yang ada menjadi  industri yang "ramah  lingkungan hidup", ancaman  kegagalan  ekonomi  akan  selalu  menghantui.  Demikian  pula,  kebijakan  peningkatan kualitas  hidup  seperti  pengendalian  dampak  tekanan  penduduk  perlu  diikuti  oleh  peningkatan sikap mental  yang menghormati  asas‐asas  konservasi  lingkungan  hidup.  Akhirnya,  peningkatan keterbukaan  kebijakan  stabilitas  politik  perlu  diikuti  oleh  pemantapan  peran  serta masyarakat, sistem  kelembagaan  serta  sumberdaya  sosial‐politik  lainnya,  untuk mendukung  pembangunan ekonomi yang lebih bermakna.  

Pada  awal  abad milennium  ini,  upaya  kuantifikasi  keberlanjutan  pembangunan  ekonomi  lebih banyak diarahkan untuk melakukan valuasi ekonomi pada beberapa jenis sumberdaya alam, baik secara  langsung, maupun  secara  tidak  langsung,  baik  dengan  cara  pendekatan  pasar, maupun non‐pasar.  Di  tingkat  akademik,  beberapa  strategi  dan  inovasi  baru  untuk  pembangunan berkelanjutan  juga  telah dikembangkan misalnya yang belakangan dikenal dengan  istilah “pasar jasa  lingkungan hidup”. Di  Indonesia dan di beberapa negara berkembang  lain di dunia, konsep pasar jasa lingkungan hidup memang masih baru sehingga memerlukan suatu upaya serius untuk mendiseminasi,  mengkampanyekan  secara  sistematis  dan  berkesinambungan.   Berbagai mekanisme kompensasi dari pembeli kepada penjual  jasa  lingkungan hidup harus terus‐menerus dikembangkan, baik dalam bentuk uang cash,  penghargaan khusus berupa pemberian kepastian usaha  kepada  para  penyedia  jasa  tersebut,  pembangunan  infrastrur  fisik  dan  non‐fisik,  seperti akses  pendidikan  dan  pelayanan  kesehatan  yang memadai,  atau  apa  saja  yang  terbaik  sesuai 
dengan kriteria dan sasaran yang lebih jelas.  

Dalam  hal  ini,  perumusan  suatu  “setting  kelembagaan”  yang  tidak  saja  mengara  kepada mekanisme penyampaian kompensasi atau pendanaan pelestarian  lingkungan hidup,  tetapi  juga pengembangan  manajemen  bersama  (co‐management)  beberapa  stakeholders  yang  terlibat dalam  jasa  lingkungan hidup. Mekanisme kompensasi tersebut perlu cukup fair dan bermanfaat, atau  paling  tidak  mengikuti  prinsip‐prinsip  “mekanisme  pasar”  yang  lebih  beradab,  adil, transparan, dan akuntabel, tapi lebih dari itu, yaitu untuk menciptakan suatu tata‐kelola yang baik (good  governance)  bagi  sistem  jasa  lingkungan  hidup  secara  umum.  Opsi  langkah  yang  dapat ditempuh ke depan adalah pertama, melanjutkan pembahasan tentang payung hukum dari  level undang‐undang  sampai  level  peraturan  di  tingkat  lokal  untuk  merangkum  berbagai  macam kepentingan  yang  menginginkan  terwujudnya  suatu  instrumen  pasar  jasa  lingkungan.  Kedua, melaksanakan beberapa actions di tingkat  lapangan untuk memperkuat kapasitas penyedia  jasa, penerima  jasa  dan  intermediaries,  agar  mampu  mewujudkan  mekanisme  kompensasi  jasa lingkungan  pada  beberapa  lokasi  yang  krusial  bagi  konservasi  lingkungan  dan  pembangunan berkelanjutan secara umum. 

4. Instrumen Ekonomi untuk Keberlanjutan 

Instrumen  ekonomi  untuk membumikan  strategi  pembangunan  berkelanjutan  dapat  dilakukan melalui pebaikan kebijakan yang  lebih antisipatif dan  responsif  terhadap  strategi pembangunan keberlanjutan.   Pada  intinya,  pemerintah  harus  mengambil  inisiatif  untuk  memelopori pengelolaan  lingkungan  hidup  baik  melalui  pengaturan  (regulasi)  maupun  melalui  perumusan instrumen ekonomi dan  sistem  insentif  lainnya. Pengaturan memerlukan peraturan perundang‐undangan dan memerlukan  insentif ekonomi dalam bentuk pungutan pajak, royalti, subsidi, dan sebagainya. Telah cukup banyak negara‐negara yang berhasil merumuskan suatu instrumen fiskal dan  kebijakan  fiscal  telah  terbukti  efektif  dalam  mempertahankan  kualitas  lingkungan  hidup hidupnya. Misalnya,  tentang  harga  tiket  masuk  ke  kawasan  alam  yang  dilindungi;  pengenaan pajak yang efektif terhadap penebangan hutan; dan pungutan yang tinggi terhadap penggunaan pupuk  kimia  dan  obat  pemberantas  hama.  Pungutan  terhadap  penggunaan  pupuk  dan  obat‐obatan  banyak  digunakan  oleh  negara‐negara  maju,  sedangkan  beberapa  negara  sedang berkembang  menterapkan  pajak  atas  penebangan  hutan,  dan  pungutan  bea masuk  ke  dalam taman nasional banyak diterapkan hampir di semua negara.  

Sistem insentif ekonomi untuk mengelola lingkungan hidup dapat diberikan dalam bentuk insentif fiskal, insentif pendanaan, dan insentif pengembangan pasar jasa lingkungan. Insentif fiskal untuk mengelola  lingkungan  hidup  dapat  berupa  pengenaan  pajak,  tetapi  dapat  pula  dalam  bentuk pemberian subsidi. Pedoman insentif fiskal di atas akan efektif, jika parameter‐parameter tentang marginal  cost  dan  marginal  benefit,  serta  turunannya  dapat  dihitung  dengan  baik.   Pajak lingkungan  (tepatnya,  pajak  untuk  mengelola  lingkungan  hidup)  dapat  dikenakan  dalam persentase  tertentu,  berbentuk  retribusi  dengan  besaran  nominal  tertentu,  ataupun  berupa pungutan. Sebaliknya, sistem  insentif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dapat pula berupa  pengurangan  pajak,  pembebasan  pajak,  dan  pemberian  subsidi.  Pembebasan  pajak berupa pemotongan  jumlah pajak yang harus dibayar, pembayaran secara berkala, atau  fasilitas pajak lainnya diberikan karena objek pajak melaksanakan kegiatan ramah lingkungan, antara lain menggunakan  energi  berteknologi  secara  efisien,  atau  pengurangan  produk  yang  dapat menyebabkan  kerusakan  lingkungan.  Subsidi  pajak  diberikan  antara  lain  pemotongan  pajak (subsidi  silang),  subsidi  pembelian  atau  pemanfaatan  teknologi  yang  ramah  lingkungan.  

Singkatnya,  kebijakan  yang  lebih  progresif  dan  kerja  lebih  keras,  agar  strategi  pembangunan berkelanjutan  dapat  masuk  ke  dalam  arus  utama  (mainstream)  perumusan  dan  pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional.  Berdasarkan uraian di atas, maka Indonesia perlu membuat suatu reformasi kebijakan fiskal, tidak hanya memperkenalkan jenis pungutan atau pajak baru, tetapi juga mengintensifkan pengenaaan 
pajak dan pungutan yang  sudah ada  tidak hanya  jumlah subyek pajaknya,  tetapi  juga perbaikan tarip  royalty  dan  pengenalan  pajak  lingkungan.  Ketidak  beranian mengenakan  pungutan  pajak yang tinggi untuk  lingkungan berarti tidak adanya kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan fungsi  pengaturan,  yang  sekaligus  harus  dibayar  mahal,  karena  kualtias  sumberdaya  dan lingkungan  hidup  semakin  rusak  dan  beberapa  di  antaranya  sulit  untuk  dipulihkan  kembali. Kondisi ekonomi, politik dan sosial terganggu dan akhirnya kesejahteraan masyarakat umumnya menjadi semakin memburuk. 

Selain dengan pendekatan regulasi dan instrumen ekonomi, suatu sistem insentif (dan disinsentif) ekonomi untuk mewujudkan  strategi pembangunan berkelanjutan  juga dapat ditempuh melalui penyampaian  informasi  atas  dasar  kesukarelaan,  seperti  pemberian  Anugerah  Adipura  dan Kalpataru  kepada  perorangan  dan  lembaga.   Pada  prinsipnya,  dunia  usaha mendukung  upaya membumikan  strategi  pembangunan  berkelanjutan  atau  pelestarian  lingkungan  hidup  secara umum.  Dunia usaha bahkan dapat mengupayakan suatu reformasi peraturan dan sistem insentif misalya  dalam  bentuk  pembebasan  bea masuk  untuk mesin‐mesin  dan  peralatan Unit  Instalasi Pengolahan  Limbah  (IPAL)  yang  diimpor  dari  luar  negeri.   Sebaliknya,  dunia  usaha  yang membebani  lingkungan hidup atau  terbukti  secara obyektif dan  terukur mendegradasi melebihi ambang batas yang ditentukan, perlu dikenakan disinsentif berupa cukai atau punishment berupa denda secara progresif yang berefek jera. 

Proporsi antara insentif dan disinsentif dibuat sedemikian rupa sehingga menstimulasi pelestarian keseimbangan  lingkungan  (balanced  ecology)  namun  tetap  tidak  counterproductive  terhadap pembangunan  berkelanjutan  (suistanable  development).  Oleh  karena  itu,  maka   instrumen kebijakan  perlu  diarahkan  pada  pengembangan  kesadaran,  pemahaman,  dan  komitmen  semua pihak  (multistakeholder)  baik  dari  kalangan  pemerintah  sendiri, maupun  dari  luar  pemerintah, khususnya  sektor  swasta.  Langkah‐langkah  ini  perlu  didukung  dengan  ditegakkannya  corporate responsibility  and  accountability  yang  diawasi  ketat  semua  aspek  masyarakat,  baik  itu  oleh asosiasi‐asosiasi perusahaan ataupun masyarakat umum. Pada  saat yang bersamaan, ketegasan aparat pemerintah  (willingness  to  charge)  yang berwenang menjadi  keniscayaan  sehingga  tidak ada lagi anggapan aturan hanya sebatas “macan kertas”. Guna membentuk keniscayaan tersebut, maka  good  governance  sebagai  landasan mutlak,  harus  tercipta  lebih  dulu  terutama  di  semua daerah otonom. 

5. Pedanaan Pembangunan Berkelanjutan 

Salah  satu  langkah  operasionalisasi  strategi  pembangunan  berkelanjutan  adalah  merumuskan skema pendanaan bagi pelestarian dan konservasi  lingkungan hidup, dengan membangun suatu mekanisme  pembiayaan  inovatif  yang  digunakan  untuk membiayai  pelestarian  atau  preservasi lingkungan  hidup  dan  keanekaragaman  hayati,  perlindungan  cagar  alam, membiayai  kegiatan‐kegiatan  yang  mendorong  penggunaan  sumberdaya  alam  seperti  konservasi  hutan  dan sumberdaya  air  secara  berkelanjutan,  dan  mendanai  organisasi  lokal:  program  pemerintah, aktivitas dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat yang terlibat kegiatan konservasi sumber daya alam.  Beberapa opsi yang dapat dikembangkan dalam jangka menengah‐panjang adalah: Pertama, mewujudkan bank lingkungan hidup.  Berhubungan setting lembaga perbankan saat ini adalah membantu mengalirkan dana pihak ketiga kepada mereka yang  lebih membutuhkannya, maka manjemen  perbankan  ”tradisional”  seperti  plafon  bunga  kredit,  ketentuan  lain memang masih  harus  dirumuskan  secara  hati‐hati.   Praktik  bank  lingkungan  hidup  di  negara‐negara  lain 
yang  telah maju masih  perlu  dipelajari  dan  ditindaklanjuti  secara  sekasama,  untuk mengambil pelajaran  berharga   dari  berbagai  aspek  pendirian  dan  pengelolaan  bank  lingkungan  hidup.  Di sinilah  pentingnya  sekian  macam  upaya  dalam  agenda  setting  (baca:  dukungan  politis  dan legalitas) yang pasti amat vital untuk merealisasikan format bank lingkungan hidup. 

Kedua,  modifikasi  lembaga  keuangan  non‐bank  untuk  lingkungan  hidup.  Pendirian  lembaga keuangan  lingkungan  hidup  ini  pada  awalnya  dapat  disponsori  oleh  pemerintah  dengan ketentuan  badan  usaha  milik  negara  (BUMN).   Akan  tetapi,  dalam  perkembangannya  kelak, lembaga  ini  dapat  diperlakukan  sebagaimana  perusahaan  keuangan  atau  layaknya  lembaga keuangan bukan bank (LKBB) lainnya di Indonesia.  Lembaga keuangan lingkungan hidup ini dapat menjadi alternatif, terutama apabila terdapat program hibah atau kredit murah dari negara donor dan kreditor luar negeri.  

Ketiga,  dana  amanah  lingkungan  hidup.  Dana  amanah  untuk  pengelolaan  lingkungan  hidup umumnya  berskala  besar,  dikelola  secara  professional  sebagai  “aset  kepercayaan”  untuk mencapai  tujuan besar pembangunan berkelanjutan,  yaitu  keseimbangan dinamis  antara  aspek pembangunan,  sosial‐politik dan  lingkungan hidup.  Ciri khas dana amanah di mana pun adalah aspek  governance  karena  melibatkan  suatu  badan  atau  dewan  terdiri  dari  berbagai  pihak: pemerintah, swasta,  lembaga riset, perguruan tinggi organisasi swadaya dan elemen masyarakat lainnya  yang  amat  peduli  untuk  mengatur  dan  mengawasi  kebijakan  pengelolaan  dan pemanfaatan dana amanah untuk pengelolaan lingkungan hidup tersebut. 

Keempat,  “pasar”  jasa  lingkungan  hidup  secara  lebih  luas  sebagaimana  diuraikan  sebelumnya. Beberapa  inisiatif masyarakat  di  beberapa  tempat  telah mengarah  pada  pengembangan  ”jasa lingkungan  hidup  tersebut.  Pada  awalnya,  inisiatif  itu  berupa  perumusakan  suatu  “mekanisme kompensasi” bagi kaum miskin, umumnya petani, yang  telah berjasa dalam pelestarian  sumber daya  alam  dan  lingkungan  hidup,  yang  tinggal  di  daerah  hulu  dianggap  sebagai   “penjual”  jasa lingkungan hidup.  Sementara itu, masyarakat banyak yang hidup di hilir atau bahkan yang tinggal di belahan bumi lain disebut “pembeli” jasa lingkungan hidup. 

Refernsi : Artikel Kadin Indonesia



0 comments:

Posting Komentar