Membumikan Strategi Pembangunan Berkelanjutan
1. Rasional
Pada era perubahan iklim dan dinamika ekonomi global yang demikian cepat, salah satu opsi wajib sebagai perajut pembangunan ekonomi Indonesia adalah upaya konkrit untuk membumikan strategi pembangunan berkelanjutan. Masyarakat bisnis sebenarnya telah sangat yakin bahwa penggunaan dan eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan melebihi daya dukung sumberdaya tersebut akan mengakibatkan degradasi sumberdaya dan lingkungan hidup yang tentu mengancam keberlanjutan pembangunan ekonomi itu sendiri.
Diskusi publik yang pernah mengemuka pada tiga dekade sebelumnya, kini seakan memperolehmomentum besar untuk segera mewujudkan, mengoperasionalisasikan dan membumikannya di dalam praktik bisnis dan aktivitas ekonomi lainnya, setelah ancaman dampak buruk perubahan iklim telah semakin nyata dan merata pada segenap lapisan masyarakat. Kesadaran kolektif itu kini seharusnya telah merasuk pada segenap pelaku usaha, perumus kebijakan dan pejuang masyarakat madani, bahwa biaya dan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup tentang dampak perubahan iklim akan jauh lebih besar dan lebih dahsyat dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan saat ini untuk mengantisipasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global tersebut.
Strategi pembangunan berkelanjutan pada awal dekade 1970‐an memang dianggap sebagai sebuah terobosan baru, tapi kini pada dekade di awal abad milienium, strategi tersebut telah menjadi suatu keniscayaan dan kebutuhan krusial dalam pembangunan ekonomi saat ini. Sesuatu yang sangat mendesak untuk dilaksanakan adalah mentransformasikan debat publik dan gagasan di tingkat konsep menjadi suatu langkah operasional oleh berbagai elemen bangsa atau pelaku, seperti: masyarakat politik (pemerintah, wakil rakyat), masyarakat bisnis (dunia usaha besar, menengah dan kecil), dan masyarakat madani (lembaga masyarakat, dunia akademik dan lain‐lain). Falsafah yang dianutnya pun tidak boleh terlalu rumit karena konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri sebenarnya cukup sederhana dan sangat mudah dicerna.
Bermula dari kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi itu ada batasnya dan bahwa perekonomian yang terlalu mengandalkan pada hasil ekstraksi sumberdaya alam, tidak akan bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berarti apa‐apa jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya ikut diperhitungkan dalam penghitungan pendapatan nasional. Lalu para ahli mulai memadukan antara aspek ekologis dan aspek ekonomis dalam perumusan kebijakan nasional. Pada tingkat aplikasi dan pelaksanaan, pemerintah bersama‐sama rakyat banyak juga ikut bertanggung jawab, tidak saja terhadap degradasi lingkungan tetapi juga terhadap kebijakan publik yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup itu.
2. Evolusi dan Penyempurnaan Strategi
Pada tingkat global, mereka yang peduli terhadap keberlanjutan pembangunan dapat tercapai pada pembentukan koMisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan (World Comission on Environment and Development = WCED) yang independen dan sangat berpengaruh. Mereka telah berhasil "mengawinkan" antara ekonomi dan ekologi, seperti tertuang dalam dokumen Our Common Future dan secara eksplisit menyebutkan strategi pembangunan berkelanjutan. Menurut koMisi itu, pembangunan berkelanjutan adalah "pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri".
Paradigma pembangunan berkelanjutan tidak hanya memperoleh tantangan di tingkat konsep, strategi dan mazhab pemikiran, tapi juga menghadapi kendala serius dalam mobilisasi dan operasionalisasi sumber pendanaan di tingkat lapangan. Kendala mobilisási dana ini terasa lebih sulit ketika para ahli dan perumus kebijakan menghadapi kesulitan untuk menterjemahkan secara lebih lugas dan jelas tentang paradigma baru pembangunan berkelanjutan yang telah mengakomodasi secara inheren perspektif sosial, untuk melengkapi perspektif atau aspek ekonomi dan lingkungan hidup. Pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Lingkungan Hidup di Johannesburg Afrika Selatan tahun 2002 (atau “Rio +10”, untuk menunjukkan penyempurnaan dari KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992), aspek sosial seperti faktor kemiskinan, kelembagaan, inklusivitas, konsultasi, pemberdayaan masyarakat sipil, dan lain‐lain telah diyakini mampu menjadi salah satu dimensi penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Penyempurnaan ini telah melengkapi sekian macam dimensi dari aspek ekonomi seperti pertumbuhan, efisiensi dan stabilitas dan dari aspek lingkungan hidup seperti keanekaragaman hayati, ketangguhan atau kemampuan penyesuaian diri, sumberdaya alam, tingkat polusi, eMisi karbón dan lain‐lain. Dalam keterkaitan antara aspek sosial dan aspek ekonomi, perhatian dari paradigma pembangunan berkelanjutan adalah tingkat pemerataan dalam suatu generasi (intra‐generational equity), kebutuhan dasar dan tingkat penyerapan angkatan kerja dalam perekonomian. Keterkaitan antara aspek sosial dan aspek lingkungan hidup telah lama dikembangkan, yaitu yang mencakup pemerataan antar generasi (inter‐generational equity), governance, transparansi dan akuntabilitas publik, serta dimensi budaya di dalamnya. Sedangkan keterkaitan antara apsek ekonomi dan lingkungan hidup telah mendapat perhatian cukup
memadai di tingkat konsep yang menyangkut proses penilaian (valuation) dan internasilisasi dari faktor eksternalitas yang mungkin timbul dalam aktivitas perekonomian (lihat Gambar di bawah).
3. Upaya Kuantifikasi Keberlanjutan
Di tingkat yang lebih operasional, kebijakan pelestarian lingkungan hidup juga menghadapi tantangan, paling tidak dalam melakukan kuantifikasi degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hal ini pun juga berhubungan dengan minimnya data dan informasi pendukung untuk mendepresiasi pertumbuhan ekonomi dengan ekstraksi sumber daya alam, atau keragu‐raguan beberapa negara untuk segera merombak sistem penghitungan pendapatan nasionalnya, disamping masalah biaya. World Resources Institute pernah secara kasar melakukan perhitungan NDP Indonesia dengan cara mendepresiasikan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product = GDP) terhadap penipisan cadangan sumber minyak bumi, sumber daya hutan, dan erosi tanah. Walaupun masih terbilang kasar, dengan metode yang sederhana dan hanya memperhitungkan depresiasi di ketiga sektor ekonomi di atas, lembaga sumberdaya dunia yang makin populer tersebut menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia rata‐rata
bukan sekitar 8 persen per tahun seperti sering diberitakan, tetapi hanya sekitar 4 persen per tahun.
Sebenarnya telah cukup banyak upaya estimasi pendapatan bersih sektor pertanian tanaman pangan yang telah didepresiasi karena degradasi lahan dengan menyempurnakan metode yang dikembangkan World Resources Institute dan memperbesar cakupannya disesuaikan dengan data satelit terakhir yang dapat dikumpulkan. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 5 persen pendapatan sektor pertanian telah berkurang hanya karena degradasi lahan saja (Arifin, 2001). Maksudnya, apabila beberapa ukuran tentang depresiasi cadangan dan kualitas sumberdaya alam mencakup lebih banyak lagi jenis sumberdaya alam dan praktik pemnafaatan yang tidak berkelanjutan, maka produk domestik bruto (PDB) ekonomi Indonesia pastilah lebih rendah dari ukuran penghitungan konvensional pembangunan ekonomi seperti selama ini. ndapatan konvensional.
Ukuran yang sedikit lebih rumit dikenal dengan nama Produktivitas Bruto yang Bekelanjutan (Gross Sustainable Productivity = GSP) yang memperhitungkan beberapa indeks sosial dan tingkat kemakmuran lain, seperti diterapkan di negara‐negara Skandinavia dan Eropa Barat.
Sebenarnya, perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan akhir‐akhir ini telah meliputi cakupan yang lebih luas, tidak hanya pada lingkup sumberdaya alam dan lingkungan hidup saja, tetapi juga pada suatu sistem sosial dan politik sebagaimana diuraikan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan perluasan dimensi pembangunan itu sendiri yang jelas tidak hanya mencakup persoalan‐persoalan ekonomi semata, tetapi meliputi keterbukaan sistem demokrasi dan politik yang dianut suatu sistem pemerintahan. Beberapa argumen terakhir sering mengambil ibarat dari keruntuhan sistem komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur lainnya tentang ketidakberlanjutan suatu pembangunan. Sikap apatimesme sebagian besar masyarakat terhadap program‐program pembangunan yang dicanangkan pemerintah dapat dijadikan sebagai bukti makin minipisnya sumber daya sosial‐politik seperti antusiasme, partisipasi masyarakt, legitimasi dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan lain‐lain.
Falsafah dasar yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa kebijakan ekonomi makro yang prudent (hati‐hati) sekalipun, jika pola pembangunan masih cenderung ekstraktif terhadap sumberdaya alam, surplus neraca perdagangan hanya akan habis untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup yang terlanjur porak‐poranda. Kebijakan transformasi ekonomi menuju sistem yang lebih baik perlu disertai restrukturisasi industri yang ada menjadi industri yang "ramah lingkungan hidup", ancaman kegagalan ekonomi akan selalu menghantui. Demikian pula, kebijakan peningkatan kualitas hidup seperti pengendalian dampak tekanan penduduk perlu diikuti oleh peningkatan sikap mental yang menghormati asas‐asas konservasi lingkungan hidup. Akhirnya, peningkatan keterbukaan kebijakan stabilitas politik perlu diikuti oleh pemantapan peran serta masyarakat, sistem kelembagaan serta sumberdaya sosial‐politik lainnya, untuk mendukung pembangunan ekonomi yang lebih bermakna.
Pada awal abad milennium ini, upaya kuantifikasi keberlanjutan pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan untuk melakukan valuasi ekonomi pada beberapa jenis sumberdaya alam, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung, baik dengan cara pendekatan pasar, maupun non‐pasar. Di tingkat akademik, beberapa strategi dan inovasi baru untuk pembangunan berkelanjutan juga telah dikembangkan misalnya yang belakangan dikenal dengan istilah “pasar jasa lingkungan hidup”. Di Indonesia dan di beberapa negara berkembang lain di dunia, konsep pasar jasa lingkungan hidup memang masih baru sehingga memerlukan suatu upaya serius untuk mendiseminasi, mengkampanyekan secara sistematis dan berkesinambungan. Berbagai mekanisme kompensasi dari pembeli kepada penjual jasa lingkungan hidup harus terus‐menerus dikembangkan, baik dalam bentuk uang cash, penghargaan khusus berupa pemberian kepastian usaha kepada para penyedia jasa tersebut, pembangunan infrastrur fisik dan non‐fisik, seperti akses pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai, atau apa saja yang terbaik sesuai
dengan kriteria dan sasaran yang lebih jelas.
Dalam hal ini, perumusan suatu “setting kelembagaan” yang tidak saja mengara kepada mekanisme penyampaian kompensasi atau pendanaan pelestarian lingkungan hidup, tetapi juga pengembangan manajemen bersama (co‐management) beberapa stakeholders yang terlibat dalam jasa lingkungan hidup. Mekanisme kompensasi tersebut perlu cukup fair dan bermanfaat, atau paling tidak mengikuti prinsip‐prinsip “mekanisme pasar” yang lebih beradab, adil, transparan, dan akuntabel, tapi lebih dari itu, yaitu untuk menciptakan suatu tata‐kelola yang baik (good governance) bagi sistem jasa lingkungan hidup secara umum. Opsi langkah yang dapat ditempuh ke depan adalah pertama, melanjutkan pembahasan tentang payung hukum dari level undang‐undang sampai level peraturan di tingkat lokal untuk merangkum berbagai macam kepentingan yang menginginkan terwujudnya suatu instrumen pasar jasa lingkungan. Kedua, melaksanakan beberapa actions di tingkat lapangan untuk memperkuat kapasitas penyedia jasa, penerima jasa dan intermediaries, agar mampu mewujudkan mekanisme kompensasi jasa lingkungan pada beberapa lokasi yang krusial bagi konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan secara umum.
4. Instrumen Ekonomi untuk Keberlanjutan
Instrumen ekonomi untuk membumikan strategi pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan melalui pebaikan kebijakan yang lebih antisipatif dan responsif terhadap strategi pembangunan keberlanjutan. Pada intinya, pemerintah harus mengambil inisiatif untuk memelopori pengelolaan lingkungan hidup baik melalui pengaturan (regulasi) maupun melalui perumusan instrumen ekonomi dan sistem insentif lainnya. Pengaturan memerlukan peraturan perundang‐undangan dan memerlukan insentif ekonomi dalam bentuk pungutan pajak, royalti, subsidi, dan sebagainya. Telah cukup banyak negara‐negara yang berhasil merumuskan suatu instrumen fiskal dan kebijakan fiscal telah terbukti efektif dalam mempertahankan kualitas lingkungan hidup hidupnya. Misalnya, tentang harga tiket masuk ke kawasan alam yang dilindungi; pengenaan pajak yang efektif terhadap penebangan hutan; dan pungutan yang tinggi terhadap penggunaan pupuk kimia dan obat pemberantas hama. Pungutan terhadap penggunaan pupuk dan obat‐obatan banyak digunakan oleh negara‐negara maju, sedangkan beberapa negara sedang berkembang menterapkan pajak atas penebangan hutan, dan pungutan bea masuk ke dalam taman nasional banyak diterapkan hampir di semua negara.
Sistem insentif ekonomi untuk mengelola lingkungan hidup dapat diberikan dalam bentuk insentif fiskal, insentif pendanaan, dan insentif pengembangan pasar jasa lingkungan. Insentif fiskal untuk mengelola lingkungan hidup dapat berupa pengenaan pajak, tetapi dapat pula dalam bentuk pemberian subsidi. Pedoman insentif fiskal di atas akan efektif, jika parameter‐parameter tentang marginal cost dan marginal benefit, serta turunannya dapat dihitung dengan baik. Pajak lingkungan (tepatnya, pajak untuk mengelola lingkungan hidup) dapat dikenakan dalam persentase tertentu, berbentuk retribusi dengan besaran nominal tertentu, ataupun berupa pungutan. Sebaliknya, sistem insentif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dapat pula berupa pengurangan pajak, pembebasan pajak, dan pemberian subsidi. Pembebasan pajak berupa pemotongan jumlah pajak yang harus dibayar, pembayaran secara berkala, atau fasilitas pajak lainnya diberikan karena objek pajak melaksanakan kegiatan ramah lingkungan, antara lain menggunakan energi berteknologi secara efisien, atau pengurangan produk yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Subsidi pajak diberikan antara lain pemotongan pajak (subsidi silang), subsidi pembelian atau pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan.
Singkatnya, kebijakan yang lebih progresif dan kerja lebih keras, agar strategi pembangunan berkelanjutan dapat masuk ke dalam arus utama (mainstream) perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional. Berdasarkan uraian di atas, maka Indonesia perlu membuat suatu reformasi kebijakan fiskal, tidak hanya memperkenalkan jenis pungutan atau pajak baru, tetapi juga mengintensifkan pengenaaan
pajak dan pungutan yang sudah ada tidak hanya jumlah subyek pajaknya, tetapi juga perbaikan tarip royalty dan pengenalan pajak lingkungan. Ketidak beranian mengenakan pungutan pajak yang tinggi untuk lingkungan berarti tidak adanya kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengaturan, yang sekaligus harus dibayar mahal, karena kualtias sumberdaya dan lingkungan hidup semakin rusak dan beberapa di antaranya sulit untuk dipulihkan kembali. Kondisi ekonomi, politik dan sosial terganggu dan akhirnya kesejahteraan masyarakat umumnya menjadi semakin memburuk.
Selain dengan pendekatan regulasi dan instrumen ekonomi, suatu sistem insentif (dan disinsentif) ekonomi untuk mewujudkan strategi pembangunan berkelanjutan juga dapat ditempuh melalui penyampaian informasi atas dasar kesukarelaan, seperti pemberian Anugerah Adipura dan Kalpataru kepada perorangan dan lembaga. Pada prinsipnya, dunia usaha mendukung upaya membumikan strategi pembangunan berkelanjutan atau pelestarian lingkungan hidup secara umum. Dunia usaha bahkan dapat mengupayakan suatu reformasi peraturan dan sistem insentif misalya dalam bentuk pembebasan bea masuk untuk mesin‐mesin dan peralatan Unit Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) yang diimpor dari luar negeri. Sebaliknya, dunia usaha yang membebani lingkungan hidup atau terbukti secara obyektif dan terukur mendegradasi melebihi ambang batas yang ditentukan, perlu dikenakan disinsentif berupa cukai atau punishment berupa denda secara progresif yang berefek jera.
Proporsi antara insentif dan disinsentif dibuat sedemikian rupa sehingga menstimulasi pelestarian keseimbangan lingkungan (balanced ecology) namun tetap tidak counterproductive terhadap pembangunan berkelanjutan (suistanable development). Oleh karena itu, maka instrumen kebijakan perlu diarahkan pada pengembangan kesadaran, pemahaman, dan komitmen semua pihak (multistakeholder) baik dari kalangan pemerintah sendiri, maupun dari luar pemerintah, khususnya sektor swasta. Langkah‐langkah ini perlu didukung dengan ditegakkannya corporate responsibility and accountability yang diawasi ketat semua aspek masyarakat, baik itu oleh asosiasi‐asosiasi perusahaan ataupun masyarakat umum. Pada saat yang bersamaan, ketegasan aparat pemerintah (willingness to charge) yang berwenang menjadi keniscayaan sehingga tidak ada lagi anggapan aturan hanya sebatas “macan kertas”. Guna membentuk keniscayaan tersebut, maka good governance sebagai landasan mutlak, harus tercipta lebih dulu terutama di semua daerah otonom.
5. Pedanaan Pembangunan Berkelanjutan
Salah satu langkah operasionalisasi strategi pembangunan berkelanjutan adalah merumuskan skema pendanaan bagi pelestarian dan konservasi lingkungan hidup, dengan membangun suatu mekanisme pembiayaan inovatif yang digunakan untuk membiayai pelestarian atau preservasi lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, perlindungan cagar alam, membiayai kegiatan‐kegiatan yang mendorong penggunaan sumberdaya alam seperti konservasi hutan dan sumberdaya air secara berkelanjutan, dan mendanai organisasi lokal: program pemerintah, aktivitas dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat yang terlibat kegiatan konservasi sumber daya alam. Beberapa opsi yang dapat dikembangkan dalam jangka menengah‐panjang adalah: Pertama, mewujudkan bank lingkungan hidup. Berhubungan setting lembaga perbankan saat ini adalah membantu mengalirkan dana pihak ketiga kepada mereka yang lebih membutuhkannya, maka manjemen perbankan ”tradisional” seperti plafon bunga kredit, ketentuan lain memang masih harus dirumuskan secara hati‐hati. Praktik bank lingkungan hidup di negara‐negara lain
yang telah maju masih perlu dipelajari dan ditindaklanjuti secara sekasama, untuk mengambil pelajaran berharga dari berbagai aspek pendirian dan pengelolaan bank lingkungan hidup. Di sinilah pentingnya sekian macam upaya dalam agenda setting (baca: dukungan politis dan legalitas) yang pasti amat vital untuk merealisasikan format bank lingkungan hidup.
Kedua, modifikasi lembaga keuangan non‐bank untuk lingkungan hidup. Pendirian lembaga keuangan lingkungan hidup ini pada awalnya dapat disponsori oleh pemerintah dengan ketentuan badan usaha milik negara (BUMN). Akan tetapi, dalam perkembangannya kelak, lembaga ini dapat diperlakukan sebagaimana perusahaan keuangan atau layaknya lembaga keuangan bukan bank (LKBB) lainnya di Indonesia. Lembaga keuangan lingkungan hidup ini dapat menjadi alternatif, terutama apabila terdapat program hibah atau kredit murah dari negara donor dan kreditor luar negeri.
Ketiga, dana amanah lingkungan hidup. Dana amanah untuk pengelolaan lingkungan hidup umumnya berskala besar, dikelola secara professional sebagai “aset kepercayaan” untuk mencapai tujuan besar pembangunan berkelanjutan, yaitu keseimbangan dinamis antara aspek pembangunan, sosial‐politik dan lingkungan hidup. Ciri khas dana amanah di mana pun adalah aspek governance karena melibatkan suatu badan atau dewan terdiri dari berbagai pihak: pemerintah, swasta, lembaga riset, perguruan tinggi organisasi swadaya dan elemen masyarakat lainnya yang amat peduli untuk mengatur dan mengawasi kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan dana amanah untuk pengelolaan lingkungan hidup tersebut.
Keempat, “pasar” jasa lingkungan hidup secara lebih luas sebagaimana diuraikan sebelumnya. Beberapa inisiatif masyarakat di beberapa tempat telah mengarah pada pengembangan ”jasa lingkungan hidup tersebut. Pada awalnya, inisiatif itu berupa perumusakan suatu “mekanisme kompensasi” bagi kaum miskin, umumnya petani, yang telah berjasa dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, yang tinggal di daerah hulu dianggap sebagai “penjual” jasa lingkungan hidup. Sementara itu, masyarakat banyak yang hidup di hilir atau bahkan yang tinggal di belahan bumi lain disebut “pembeli” jasa lingkungan hidup.
Refernsi : Artikel Kadin Indonesia
0 comments:
Posting Komentar